Rabu, 25 November 2015

MENURUNNYA BUDAYA BACA PADA MASYARAKAT



MENURUNNYA BUDAYA BACA PADA MASYARAKAT

PENDAHULUAN
Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin dalam bukunya Antropologi Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Senada dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Adapun Gooddenough sebagaimana disebutkan Mudjia Rahardjo dalam bukunya Relung-relung Bahasa mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat adalah apa saja yang harus diketahui dan dipercayai seseorang sehngga dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang harus dicari dan perilaku harus dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Karena itu budaya merupakan “cara” yang harus dimiliki seseorang untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dalam hidupnya. Dalam konsep ini kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia.
Pengertian Kesusastraan
Kesusastraan adalah bagian dari kebudayaan.  Secara morfologis kata kesusastraan, yang lebih sering hanya disebut sastra, dapat diuraikan atas konfiks ke-an yang berarti ‘semua yang berkaitan dengan  prefiks su ‘baik, indah, berguna’ dan bentuk dasar sastra yang berarti ‘kata, tulisan, ilmu’.Jadi, menurut uraian di atas kesusastraan adalah semua yang berkaitan dengan tulisan yang indah. Sedang menurut arti istilah, kesusastraan atau sastra ialah cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai medium.  Sastra berasal dari kata castra berarti tulisan. Dari makna asalnya dulu, sastra meliputi segala bentuk dan macam tulisan yang ditulis oleh manusia, seperti catatan ilmu pengetahuan, kitab-kitab suci, surat-surat, undang-undang, dan sebagainya. Sastra dalam arti khusus yang kita gunakan dalam konteks kebudayaan, adalah ekspresi gagasan dan perasaan manusia. Jadi, pengertian sastra sebagai hasil budaya dapat diartikan sebagai bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang lahir dari perasaan dan pemikirannya.
Untuk mengapresiasi karya sastra ataupun karya-karya ilmiah lainnya dibutuhkan kegiatan membaca. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, definisi membaca yaitu melihat dan paham isinya, bisa dengan melisankan atau dalam hati saja. Menurut Mr.Hodgson terbitan tahun 1960 halaman 43-44, definisi membaca yaitu proses yang dilakukan oleh para pembaca agar mendapatkan pesan, yang akan disampaikan dari penulis dengan perantara media kata-kata maupun bahasa tulis. Apabila pesan tersurat dan tersirat dapat dipahami, maka proses dari membaca itu akan terlaksana secara baik. Menurut Mr.Juel dalam buku Mr.Sandjaja terbitan tahun 2005, membaca yaitu proses untuk dapat mengenal beberapa kata dan memadukan menjadi arti kata menjadi kalimat dan struktur bacaan. Oleh karena itu, setelah membaca dapat membuat intisarinya dari bacaan tersebut. Burn dan Roe dalam Hairudin (2007 : 3-23), mengemukakan bahwa membaca pada hakikatnya terdiri atas dua bagian, yaitu membaca sebagai proses dan membaca sebagai produk. Membaca sebagai proses mengacu pada aktivitas baik yang bersifat mental maupun fisik, sedangkan membaca sebagai produk mengacu pada konsekuensi dari aktivitas yang dilakukan pada saat membaca.
Membaca adalah suatu cara untuk mendapatkan informasi dari sesuatu yang ditulis. Membaca melibatkan pengenalan simbol yang menyusun sebuah bahasa. Membaca dan mendengar adalah dua cara paling umum untuk mendapatkan informasi. Informasi yang didapat dari membaca dapat termasuk hiburan, khususnya saat membaca cerita fiksi atau humor. Anton M. Moeliono (1988 : 12), membaca adalah melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan/hanya dalam hati). Sutarno (2006: 27), mengemukakan bahwa budaya baca adalah suatu sikap dan tindakan atau perbuatan untuk membaca yang dilakukan secara teratur dan berkelanjutan. Seorang yang mempunyai budaya baca adalah bahwa orang tersebut telah terbiasa dan berproses dalam waktu yang lama di dalam hidupnya selalu menggunakan sebagian waktunya untuk membaca.
Menurut Rozin (2008), budaya membaca adalah kegiatan positif rutin yang baik dilakukan untuk melatih otak untuk menyerap segala informasi yang terbaik diterima seseorang dalam kondisi dan waktu tertentu. Sumber bacaan bisa diperoleh dari buku, surat kabar, tabloid,
internet, dan sebagainya. Dianjurkan untuk membaca berbagai hal yang positif. Informasi yang baik akan membuat hasil yang baik pula bagi anda. Salah satu sarana yang sangat menunjang tercapainya tujuan pendidikan adalah budaya membaca. Melalui perpustakaan siswa/mahasiswa dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang dimiliki, sehingga dapat menunjang proses belajar mengajar. Salah satu unsur penunjang yang paling penting dalam dunia pendidikan adalah keberadaan sebuah perpustakaan. Adanya sebuah perpustakaan sebagai penyedia fasilitas yang dibutuhkan terutama untuk memenuhi kebutuhan belajar akan sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekolah itu sendiri. Membaca dipandang sebagai suatu kegiatan yang amat strategi dan mendasar dalam perkembangan kepribadian/psikologi pada setiap diri
manusia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kebiasaan seseorang, bahwa apa yang dibaca akan berpengaruh terhadap pola pikir dan perilakunya pada kehidupan sehari-hari.

HAL-HAL YANG MEMPENGARUHI MENURUNNYA BUDAYA MEMBACA PADA MASYARAKAT
Kemajuan teknologi tak bisa dipungkiri sangat mempengaruhi perubahan budaya membaca pada masyarakat. Munculnya permainan (game) yang makin canggih dan variatif mengalihkan perhatian anak dari buku.  Tempat hiburan yang makin banyak didirikan juga membuat anak-anak lebih banyak meluangkan waktu dengan kumpul-kumpul mengobrol bersama teman di kafe-kafe daripada membaca buku. Semakin banyaknya setasiun televisi memungkinkan semakin banyaknya tayangan yang  menarik, sehingga banyak waktu dihabiskan hanya untuk menonton acara televisi. Kecanggihan gadget seperti hand phone, iPad, dan sejenisnya dengan fitur-fitur menarik seakan menyedot perhatian masyarakat dari usia anak-anak hingga orang dewasa. Kemajuan jaringan internet memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam perubahan tersebut. Hadirnya bermacam-macam sosial media menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat.
Bagi masyarakat yang kurang mampu harga buku relatif  mahal, sehingga orang tua hanya mampu membelikan buku-buku yang diwajibkan oleh sekolah saja. Hal ini menjadi kendala yang cukup besar bagi orang tua dalam menyediakan bacaan tambahan yang bermanfaat bagi anak-anak mereka. Perlu adanya perpustakaan umum dan perpustakaan sekolah yang dapat memfasilitasi anak-anak agar dapat membaca buku.  Namun sayangnya sarana untuk memperoleh bacaan, seperti perpustakaan atau taman bacaan, masih merupakan barang aneh dan langka. Jumlah perpustakaan umum masih tergolong sedikit dan koleksi buku-buku di perpustakaan sekolah cenderung terbatas. Letak perpustakaan di sekolah-sekolah kebanyakan di pojok, gelap, berdebu, susunan buku kurang menarik, tempatnya juga tidak nyaman, sehingga di mata siswa, perpustakaan bukanlah tempat yang menarik untuk di kunjungi. Jika demikian kondisinya, maka wajarlah jika minat baca bangsa ini rendah.   Sebab, pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang mengatur hal ini terutama pihak yang terkait seperti Departemen Pendidikan, belum memiliki kebijakan yang mampu membuat bangsa ini merasa perlu membaca. Menurut Suherman, M.Psi, dalam bukunya “Bacalah!  Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban” bahwa di negara maju, misalnya Amerika Serikat dan Jepang, setiap individu memiliki waktu baca khusus dalam sehari. Rata-rata kebiasaan mereka menghabiskan waktu untuk membaca mencapai delapan jam sehari. Sementara di negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua jam setiap harinya. Mereka cenderung memilih untuk bersantai main game, bermalas-malasan menonton televisi atau pergi jalan-jalan ke mall atau tempat hiburan lainnya
Peran orangtua sangat penting dalam menumbuhkan minat baca pada anak sedari kecil. Karena lingkungan dengan orang tua yang suka membaca otomatis akan menurunkannya pada anak-anaknya.  Pemerintah juga harus giat dalam membudayakan kebiasaan membaca di kalangan masyarakat. Perpustakaan keliling yang diprakarsai pemerintah boleh dibilang sebagai terobosan yang sangat baik untuk menumbuhkan minat baca. Namun hal ini juga perlu didorong dengan upaya lainnya untuk mewujudkan budaya tersebut, yaitu melalui penyediaan buku-buku gratis bagi masyarakat tidak mampu, sehingga masyarakat dapat dengan mudah mengakses buku-buku tersebut. Tersedianya sarana dan prasarana perpustakaan yang ada diharapkan dapat menumbuhkan budaya membaca oleh seluruh warga sekolah / perguruan tinggi. Perpustakaan menjadi salah satu faktor penunjang dalam melestarikan budaya membaca. Selain itu, yang menjadi pendorong atas bangkitnya minat baca ialah ketertarikan, kegemaran dan hobi membaca. Sedangkan pendorong tumbuhnya kebiasaan membaca adalah kemauan dan kemampuan membaca. Kebiasaan membaca terpelihara dengan tersedianya bahan bacaan yang baik, menarik, memadai baik jenis, jumlah maupun mutunya. Oleh karena itu, kebiasaan membaca dapat menjadi landasan bagi berkembangnya budaya membaca.
Menurut Havighurts masa anak-anak. Usia 6-12 tahun memiliki tugas perkembangan untuk mengembangkan kemampuan dasar dalam membaca. Dalam meningkatkan kemampuan untuk membaca tersebut seorang anak perlu didampingi oleh orang lain. Pendampingan bisa dilakukan oleh orang tua sebagai orang terdekat, guru, dan semua orang di lingkungan terdekat yang mampu mendampingi anak dalam menumbuhkan minat bacanya. Taufiq Ismail, menjelaskan, minat baca masyarakat selama ini bukan saja persoalan di Indonesia, tapi juga di negara-negara maju. Karenanya tinggalkan semua aktivitas satu jam sehari untuk membaca dan belajar. Salah satu faktor menurunnya minat baca di kalangan masyarakat, menurut Taufiq Ismail, karena pengaruh media televisi. Orang begitu gampang dan lalai dengan siaran televisi, sehingga tidak memiliki lagi kesempatan untuk membaca dan belajar khususnya di kalangan generasi muda. Menumbuhkan minat baca di kalangan anak muda bukan hanya Menjadi tanggungjawab orang tua di rumah, melainkan juga menjadi tanggungjawab pihak sekolah, tempat orang tua mempercayakan putra-putrinya untuk dididik oleh para guru dalam sebuah proses yang dinamakan proses belajar-mengajar.
Tanggungjawab pendidik tentu saja tidak boleh hanya bermuara pada proses mengajar dalam pengertian sesempit para guru mengantarkan pengetahuan pada siswa, mengembangkan bakat siswa, membentuk kemampuannya untuk mengerti, memahami, menilai dan menyimpulkan serta mendiskusikan pengetahuan, tetapi perlu juga menyentuh pada substansi yang disebut “perangsangan“ anak didik untuk gemar membaca. Harus diakui, budaya membaca dari para siswa pun sampai saat ini belum menunjukkan adanya tanda-tanda kemajuan yang signifikan. Banyak rekan guru di Indonesia yang masih mengeluh karena siswanya malas membaca. Apabila sedari kecil belum dibiasakan membaca, maka kita bisa memulainya dari membaca Koran, artikel yang tulisannya tidak banyak seperti buku. Dengan begitu budaya membaca akan tumbuh di kalangan anak muda dengan sendirinya. Budaya membaca sendiri sangat bermanfaat bagi semua orang. Dengan membaca kita dapat enemukan hal-hal baru dalam tulisan yang kita baca. Menambah wawasan dan pengetahuan serta dapat berpikir secara kritis. Banyak sekali manfaat yang akan kita dapat dengan membaca. Dengan membaca, kita akan terhalang untuk masuk ke dalam kebodohan. Selain itu, orang akan dapat mengembangkan keluwesan dan kefasihan dalam bertutur kata. Kita akan mendapatkan banyak informasi dari kegiatan membaca tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Moeliono, A. M. 1988. Psikologi Belajar. Yogyakarta: Rineka Cipta
Sutarno. (2006). Manajemen Perpustakaan . Jakarta: Sagung Seto . Widagdho,
Djoko. (1994). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : Bumi Aksara
https://id.wikipedia.org/wiki/Sastra
http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/16/rendahnya-minat-baca-bangsa-442837.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar