MENURUNNYA BUDAYA BACA PADA MASYARAKAT
PENDAHULUAN
Kebudayaan menurut Clifford Geertz
sebagaimana disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin dalam bukunya Antropologi
Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna
yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Senada
dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem
struktur dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat
diindentifikasi, dan bersifat publik. Adapun Gooddenough sebagaimana disebutkan
Mudjia Rahardjo dalam bukunya Relung-relung Bahasa mengatakan bahwa budaya suatu
masyarakat adalah apa saja yang harus diketahui dan dipercayai seseorang
sehngga dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di dalam
masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang harus dicari dan
perilaku harus dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Karena itu
budaya merupakan “cara” yang harus dimiliki seseorang untuk melaksanakan
kegiatan sehari-hari dalam hidupnya. Dalam konsep ini kebudayaan dapat dimaknai
sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati
sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai anggota
masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai
pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia.
Pengertian Kesusastraan
Kesusastraan adalah bagian dari
kebudayaan. Secara morfologis kata kesusastraan, yang lebih sering hanya
disebut sastra, dapat diuraikan atas konfiks ke-an yang berarti ‘semua yang
berkaitan dengan prefiks su ‘baik, indah, berguna’ dan bentuk dasar
sastra yang berarti ‘kata, tulisan, ilmu’.Jadi, menurut uraian di atas
kesusastraan adalah semua yang berkaitan dengan tulisan yang indah. Sedang
menurut arti istilah, kesusastraan atau sastra ialah cabang seni yang
menggunakan bahasa sebagai medium. Sastra berasal dari kata castra
berarti tulisan. Dari makna asalnya dulu, sastra meliputi segala bentuk dan
macam tulisan yang ditulis oleh manusia, seperti catatan ilmu pengetahuan,
kitab-kitab suci, surat-surat, undang-undang, dan sebagainya. Sastra dalam arti
khusus yang kita gunakan dalam konteks kebudayaan, adalah ekspresi gagasan dan
perasaan manusia. Jadi, pengertian sastra sebagai hasil budaya dapat diartikan
sebagai bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang
lahir dari perasaan dan pemikirannya.
Untuk
mengapresiasi karya sastra ataupun karya-karya ilmiah lainnya dibutuhkan
kegiatan membaca. Menurut Kamus Bahasa Indonesia,
definisi membaca yaitu melihat dan paham isinya, bisa dengan melisankan atau
dalam hati saja. Menurut
Mr.Hodgson terbitan tahun 1960 halaman 43-44, definisi membaca yaitu proses
yang dilakukan oleh para pembaca agar mendapatkan pesan, yang akan disampaikan
dari penulis dengan perantara media kata-kata maupun bahasa tulis. Apabila
pesan tersurat dan tersirat dapat dipahami, maka proses dari membaca itu akan
terlaksana secara baik. Menurut Mr.Juel dalam buku Mr.Sandjaja terbitan tahun
2005, membaca yaitu proses untuk dapat mengenal beberapa kata dan memadukan
menjadi arti kata menjadi kalimat dan struktur bacaan. Oleh karena itu, setelah
membaca dapat membuat intisarinya dari bacaan tersebut. Burn
dan Roe dalam Hairudin (2007 : 3-23), mengemukakan bahwa membaca pada
hakikatnya terdiri atas dua bagian, yaitu membaca sebagai proses dan membaca
sebagai produk. Membaca sebagai proses mengacu pada aktivitas baik yang
bersifat mental maupun fisik, sedangkan membaca sebagai produk mengacu pada
konsekuensi dari aktivitas yang dilakukan pada saat membaca.
Membaca adalah suatu cara untuk
mendapatkan informasi dari sesuatu yang ditulis. Membaca melibatkan pengenalan
simbol yang menyusun sebuah bahasa. Membaca dan mendengar adalah dua cara
paling umum untuk mendapatkan informasi. Informasi yang didapat dari membaca
dapat termasuk hiburan, khususnya saat membaca cerita fiksi atau humor. Anton
M. Moeliono (1988 : 12), membaca adalah melihat serta memahami isi dari apa
yang tertulis (dengan melisankan/hanya dalam hati). Sutarno (2006: 27),
mengemukakan bahwa budaya baca adalah suatu sikap dan tindakan atau perbuatan
untuk membaca yang dilakukan secara teratur dan berkelanjutan. Seorang yang
mempunyai budaya baca adalah bahwa orang tersebut telah terbiasa dan berproses
dalam waktu yang lama di dalam hidupnya selalu menggunakan sebagian waktunya
untuk membaca.
Menurut Rozin (2008), budaya membaca
adalah kegiatan positif rutin yang baik dilakukan untuk melatih otak untuk
menyerap segala informasi yang terbaik diterima seseorang dalam kondisi dan
waktu tertentu. Sumber bacaan bisa diperoleh dari buku, surat kabar, tabloid,
internet, dan sebagainya. Dianjurkan
untuk membaca berbagai hal yang positif. Informasi yang baik akan membuat hasil
yang baik pula bagi anda. Salah satu sarana yang sangat menunjang tercapainya
tujuan pendidikan adalah budaya membaca. Melalui perpustakaan siswa/mahasiswa
dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang dimiliki, sehingga dapat menunjang
proses belajar mengajar. Salah satu unsur penunjang yang paling penting dalam
dunia pendidikan adalah keberadaan sebuah perpustakaan. Adanya sebuah
perpustakaan sebagai penyedia fasilitas yang dibutuhkan terutama untuk memenuhi
kebutuhan belajar akan sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekolah itu
sendiri. Membaca dipandang sebagai suatu kegiatan yang amat strategi dan
mendasar dalam perkembangan kepribadian/psikologi pada setiap diri
manusia. Kenyataan ini dapat dilihat
dari kebiasaan seseorang, bahwa apa yang dibaca akan berpengaruh terhadap pola
pikir dan perilakunya pada kehidupan sehari-hari.
HAL-HAL YANG MEMPENGARUHI MENURUNNYA BUDAYA MEMBACA PADA
MASYARAKAT
Kemajuan teknologi tak bisa
dipungkiri sangat mempengaruhi perubahan budaya membaca pada masyarakat. Munculnya
permainan (game) yang makin canggih dan variatif mengalihkan perhatian
anak dari buku. Tempat hiburan yang makin banyak didirikan juga membuat
anak-anak lebih banyak meluangkan waktu dengan kumpul-kumpul mengobrol bersama
teman di kafe-kafe daripada membaca buku. Semakin banyaknya setasiun televisi
memungkinkan semakin banyaknya tayangan yang
menarik, sehingga banyak waktu dihabiskan hanya untuk menonton acara
televisi. Kecanggihan gadget seperti hand phone, iPad, dan sejenisnya dengan
fitur-fitur menarik seakan menyedot perhatian masyarakat dari usia anak-anak
hingga orang dewasa. Kemajuan jaringan internet memberikan sumbangsih yang
sangat besar dalam perubahan tersebut. Hadirnya bermacam-macam sosial media
menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan masyarakat.
Bagi
masyarakat yang kurang mampu harga buku relatif
mahal, sehingga orang tua hanya mampu membelikan buku-buku yang
diwajibkan oleh sekolah saja. Hal ini menjadi kendala yang cukup besar bagi
orang tua dalam menyediakan bacaan tambahan yang bermanfaat bagi anak-anak
mereka. Perlu adanya perpustakaan umum dan
perpustakaan sekolah yang dapat memfasilitasi anak-anak agar dapat membaca
buku. Namun sayangnya sarana untuk memperoleh bacaan, seperti
perpustakaan atau taman bacaan, masih merupakan barang aneh dan langka. Jumlah
perpustakaan umum masih tergolong sedikit dan koleksi buku-buku di perpustakaan
sekolah cenderung terbatas. Letak perpustakaan di sekolah-sekolah kebanyakan di
pojok, gelap, berdebu, susunan buku kurang menarik, tempatnya juga tidak
nyaman, sehingga di mata siswa, perpustakaan bukanlah tempat yang menarik untuk
di kunjungi. Jika
demikian kondisinya, maka wajarlah jika minat baca bangsa ini rendah.
Sebab, pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang mengatur hal ini terutama
pihak yang terkait seperti Departemen Pendidikan, belum memiliki kebijakan yang
mampu membuat bangsa ini merasa perlu membaca. Menurut Suherman, M.Psi, dalam
bukunya “Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru
Peradaban” bahwa di negara maju, misalnya Amerika Serikat dan Jepang, setiap
individu memiliki waktu baca khusus dalam sehari. Rata-rata kebiasaan mereka
menghabiskan waktu untuk membaca mencapai delapan jam sehari. Sementara di
negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua jam setiap harinya. Mereka
cenderung memilih untuk bersantai main game, bermalas-malasan menonton
televisi atau pergi jalan-jalan ke mall atau tempat hiburan lainnya
Peran
orangtua sangat penting dalam menumbuhkan minat baca pada anak sedari kecil. Karena
lingkungan dengan orang tua yang suka membaca otomatis akan menurunkannya pada
anak-anaknya. Pemerintah juga harus giat
dalam membudayakan kebiasaan membaca di kalangan masyarakat. Perpustakaan
keliling yang diprakarsai pemerintah boleh dibilang sebagai terobosan yang
sangat baik untuk menumbuhkan minat baca. Namun hal ini juga perlu didorong
dengan upaya lainnya untuk mewujudkan budaya tersebut, yaitu melalui penyediaan
buku-buku gratis bagi masyarakat tidak mampu, sehingga masyarakat dapat dengan mudah
mengakses buku-buku tersebut. Tersedianya sarana dan prasarana perpustakaan
yang ada diharapkan dapat menumbuhkan budaya membaca oleh seluruh warga sekolah
/ perguruan tinggi. Perpustakaan menjadi salah satu faktor penunjang dalam
melestarikan budaya membaca. Selain itu, yang menjadi pendorong atas bangkitnya
minat baca ialah ketertarikan, kegemaran dan hobi membaca. Sedangkan pendorong
tumbuhnya kebiasaan membaca adalah kemauan dan kemampuan membaca. Kebiasaan
membaca terpelihara dengan tersedianya bahan bacaan yang baik, menarik, memadai
baik jenis, jumlah maupun mutunya. Oleh karena itu, kebiasaan membaca dapat
menjadi landasan bagi berkembangnya budaya membaca.
Menurut Havighurts masa anak-anak.
Usia 6-12 tahun memiliki tugas perkembangan untuk mengembangkan kemampuan dasar
dalam membaca. Dalam meningkatkan kemampuan untuk membaca tersebut seorang anak
perlu didampingi oleh orang lain. Pendampingan bisa dilakukan oleh orang tua
sebagai orang terdekat, guru, dan semua orang di lingkungan terdekat yang mampu
mendampingi anak dalam menumbuhkan minat bacanya. Taufiq Ismail, menjelaskan,
minat baca masyarakat selama ini bukan saja persoalan di Indonesia, tapi juga
di negara-negara maju. Karenanya tinggalkan semua aktivitas satu jam sehari
untuk membaca dan belajar. Salah satu faktor menurunnya minat baca di kalangan
masyarakat, menurut Taufiq Ismail, karena pengaruh media televisi. Orang begitu
gampang dan lalai dengan siaran televisi, sehingga tidak memiliki lagi
kesempatan untuk membaca dan belajar khususnya di kalangan generasi muda.
Menumbuhkan minat baca di kalangan anak muda bukan hanya Menjadi tanggungjawab
orang tua di rumah, melainkan juga menjadi tanggungjawab pihak sekolah, tempat
orang tua mempercayakan putra-putrinya untuk dididik oleh para guru dalam
sebuah proses yang dinamakan proses belajar-mengajar.
Tanggungjawab pendidik tentu saja
tidak boleh hanya bermuara pada proses mengajar dalam pengertian sesempit para
guru mengantarkan pengetahuan pada siswa, mengembangkan bakat siswa, membentuk
kemampuannya untuk mengerti, memahami, menilai dan menyimpulkan serta
mendiskusikan pengetahuan, tetapi perlu juga menyentuh pada substansi yang
disebut “perangsangan“ anak didik untuk gemar membaca. Harus diakui, budaya
membaca dari para siswa pun sampai saat ini belum menunjukkan adanya
tanda-tanda kemajuan yang signifikan. Banyak rekan guru di Indonesia yang masih
mengeluh karena siswanya malas membaca. Apabila sedari kecil belum dibiasakan
membaca, maka kita bisa memulainya dari membaca Koran, artikel yang tulisannya
tidak banyak seperti buku. Dengan begitu budaya membaca akan tumbuh di kalangan
anak muda dengan sendirinya. Budaya membaca sendiri sangat bermanfaat bagi
semua orang. Dengan membaca kita dapat enemukan hal-hal baru dalam tulisan yang
kita baca. Menambah wawasan dan pengetahuan serta dapat berpikir secara kritis.
Banyak sekali manfaat yang akan kita dapat dengan membaca. Dengan membaca, kita
akan terhalang untuk masuk ke dalam kebodohan. Selain itu, orang akan dapat
mengembangkan keluwesan dan kefasihan dalam bertutur kata. Kita akan
mendapatkan banyak informasi dari kegiatan membaca tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. (1990).
Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Moeliono, A. M. 1988. Psikologi
Belajar. Yogyakarta: Rineka Cipta
Sutarno. (2006). Manajemen
Perpustakaan . Jakarta: Sagung Seto . Widagdho,
Djoko. (1994). Ilmu Budaya Dasar.
Jakarta : Bumi Aksara
https://id.wikipedia.org/wiki/Sastra
http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/16/rendahnya-minat-baca-bangsa-442837.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar